Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas." (HR. Muslim, no. 429) Walaupun demikian, memandang ke langit-langit saat shalat tidaklah membatalkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat. Memandang ke langit-langit menandakan tidak khusyuknya orang yang shalat. RukunShalat ada 13 yaitu : Niat, yaitu menyengaja untuk mengerjakan sholat karena Allah SWT. Niat ini dilakukan oleh hati, dan dapat pula dilafazkan dalam rangka membantu untuk meyakinkan hati. "Bahwasanya segala perbuatan itu harus dgn niat, dan segala perbuatan itu tergantung kpd niatnya." (HR Al-Bukhori) Berdiri bagi yang mampu. Salahsatu dari lima Rukun Islam adalah Shalat. Shalat ialah berhadap hati kepada Allah SWT sebagai ibadah, yang diwajibkan atas tiap-tiap orang Islam (shalat wajib) baik laki-laki maupun perempuan berupa perbuatan/perkataan dan berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam . Shalattidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yang akan membatalkannya. Adapun syarat-syaratnya ada sembilan: 1. Islam, 2. Berakal, 3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk), 4. Menghilangkan hadats, 5. Menghilangkan najis, 6. Menutup aurat, 7. Orangyang sakit wajib melaksanakan semua kewajiban shalat tepat pada waktunya sesuai menurut kemampu-annya sebagaimana kita jelaskan di atas. Tidak boleh sengaja mengakhirkannya dari waktu yang semestinya. Dan jika termasuk orang yang kesulitan berwudhu dia boleh menjamak shalatnya seperti layaknya seorang musafir. Sebagianulama ada yang berpendapat bahwa rukun adalah perbuatan yang hukumnya wajib dilakukan dan menjadi bagian utuh dari rangkaian ibadah. Menurutnya syarat sah shalat itu adalah sesuatu yang berada di luar shalat yakni tidak termasuk dalam pekerjaan shalat, sebagaimana yang beliau jelaskan di dalam kutipan tulisannya yang dikemukakannya Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka Laranganmenengadah ke langit Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyAllahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau kitabshalat; kitab jenazah; kitab zakat; kitab shiyam; kitab hajji; kitab nikah; kitab urusan pidana; kitab hukuman; kitab jihad; kitab makanan; kitab sumpah dan nazar; kitab memutuskan perkara; kitab memerdekakan budak; kitab kelengkapan; 🙏 do'a sehari-hari; 🔉 audio podcast; 💬 kamus istilah islam; soal & pertanyaan agama; 🔀 ayat 57tq. Pertanyaan Apa kondisi-kondisi yang memungkinkan merubah arah kiblat? Teks Jawaban penanya ingin mengetahui kondisi yang gugur di dalamnya menghadap kiblat dalam shalat. Dan shalatnya sah tanpa menghadap kiblat. Diantara syarat sahnya shalat adalah menghadap kiblat, tidak sah shalat kecuali dengannya karena Allah Ta’ala memerintahkan dan mengulangi perintahnya dalam Qur’an Karim dimana Allah berfirman وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ البقرة/144 “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” QS. Al-baqarah 144 maksudnya arahnya. Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam pertama kali tiba di Madinah shalat menghadap ke Baitul Maqdis, sehingga Ka’bah dibelakang punggungnya dan Syam di arah wajahnya. Akan tetapi setelah itu, beliau mengharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyareatkan berlaianan dengan hal itu. Sehingga seringkali wajahnya menengadah ke langit menunggu Jibril menurunkan wahyu kepadanya agar menghadap ke Ka’bah sebagaimana firman Allah قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ البقرة/144 “Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” QS. Al-Baqara 144 Maka Allah memerintahkan menghadap wajahnya ke Masjidil Haram maksudnya arahnya, melainkan dikecualikan hal itu dalam tiga permasalahan Permasalahan pertama kalau tidak mampu seperti sakit dan wajahnya ke selain kiblat dan dia tidak mampu mengarahkan ke kiblat. Maka menghadap kiblat baginya gugur dalam kondisi seperti ini berdasarkan firman Ta’ala Bertakwalah kepada Allah semampu anda,” QS. At-Tagobun 16. Dan firman Ta’ala “Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” QS. Al-Baqarah 286. Juga sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ رواه البخاري 7288 ومسلم 1337 “Kalau saya perintahkah kamu semua dengan suatu perintah, maka lakukan sesuai dengan kemampuan kamu semua.” HR. Bukhori, 7288 dan Muslim, 1337. Permasalahan kedua kalau dalam kondisi sangat ketakutan seperti seseorang lari dari musuh atau lari dari binatang buas atau lari dari banjir yang menenggelamkannya. Maka disini menunaikan shalat kemana saja wajah menghadap. Dalilnya firman Allat Ta’ala فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ البقرة/239 . “Jika kamu dalam keadaan takut bahaya, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah shalatlah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” QS. Al-Baqarah 239. Firman-Nya فَإِنْ خِفْتُمْ” Jika kamu dalam keadaan takut bahaya” umum mencakup semua jenis ketakutan. Dan firman-Nya “Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah shalatlah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Menunjukkan bahwa zikir apapun yang ditinggalkan seseorang karena ketakutan, maka hal itu tidak mengapa. Diantara hal itu adalah menghadap kiblat. Menunjukkan juga dari dua ayat mulia tadi dan hadits nabawi bahwa kewajiban tergantung dari kemampuan. Permasalahan ketiga shalat sunah dalam safar baik di atas kapal terbang atau mobil atau di atas unta. Maka dia shalat kemana saja wajahnya menghadap dalam shalat sunah seperti witir, dzuha dan semisal itu. Orang musafir hendaknya menunaikan semua shalat sunah seperti benar-benar orang mukim kecuali sunah rowatib seperti rawatib Zuhur, magrib, Isya’. Yang sesuai sunah adalah meninggalkannya. Kalau ingin menunaikan shalat sunah sementara dia dalam kondisi safar, maka hendaknya dia menunaikan sunah dimana saja menghadap wajahnya. Hal itu yang telah ada ketetapan dalam Shohehahin dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Inilah tiga permasalahan tidak diwajibkan menghadap kiblat. Sementara yang tidak mengetahui maka dia wajib menghadap kiblat. Akan tetapi ketika dia berijtihad, dan mencari-cari kemudian ternyata dia salah setelah berijtihad, maka dia tidak perlu mengulanginya. Kita tidak mengatakan, “Dia gugur menghadap kiblat, bahkan dia wajib menghadap kiblat dan berusaha semampunya untuk mencarinya. Ketika berusaha mencari sesuai dengan kemampuannya kemudian ternyata salah, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Dalil akan hal itu adalah bahwa para shahabat yang tidak mengetahui perubahan kiblat ke Ka’bah, mereka shalat hari itu shalat Fajar di Masjid Quba’, kemudian ada seseorang datang seraya mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah diturunkan malam ini wahyu Qur’an. Dan diperintahkan untuk menghadap Ka’bah. Maka mereka mengahadapnya. Dahulu wajah mereka menghadap ke Syam, kemudian mereka berputar ke Ka’bah.’ HR. Bukhori, 403 dan Muslim, 526. Sebelumnya Ka’bah dibelakang mereka, dijadikan di depannya. Mereka berputar dan terus melanjutkan shalatnya. Ini terjadi pada masa Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Dan tidak ada pengingkaran, maka hal itu menjadi disyareatkan. Maksudnya kalau seseorang salah dalam kiblat karena tidak tahu, maka dia tidak perlu mengulanginya. Akan tetapi ketika mengetahui hal itu di sela-sela shalat, maka dia wajib menghadap kiblat. Maka menghadap kiblat termasuk salah satu syarat shalat tidak sah kecuali dengannya dalam tiga tempat. Kecuali kalau seseorang telah berijtihad dan berhati-hati.” Selesai Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 12/433-435. Wallahu a’lam . Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam sejumlah dalil baik Alquran maupun hadis Rasulullah SAW. Dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 144, Allah SWT berfirman, ''Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.'' Perintah Sang Khalik itu diperkuat dengan hadis. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudlu kemudian menghadap kiblat lalu takbir " HR Bukhari dan Muslim. Atas dasar ayat Alquran dan hadis itulah para ulama, menurut asy-Syaukani, bersepakat bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat. Lalu timbul persoalan, apakah harus persis ke Baitullah atau boleh hanya ke perkiraan arahnya saja? Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan. Namun demikian, perlu berusaha memadukan antara teks dan konteks agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika menentukan pusat arah yang dihadapi itu. Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, memaparkan pendapat beberapa imam mazhab. Menurut Imam Syafi'i, orang yang melakukan shalat wajib mengarah pasda zat Ka'bah. Sedangkan orang yang jauh dari Ka'bah cukup dengan memperkirakan saja. Akan tetapi, ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i membolehkan orang shalat hanya menghadap ke arah ka'bah, bukan pada zatnya. Riwayat itu diterima dari al-Muzanni, murid Imam Syafi'i. Dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi'i itu, pendapat pertama ternyata lebih popuper. Lalu bagaimana dengan imam-imam yang lain? Imam-imam mujtahid lainnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hanbali , mewajibkan orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke arah Ka'bah saja. Alasannya, tak mungkin bagi orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke zat Ka'bah itu sendiri. Jika seseorang melakukan shalat di tempat yang sangat gelap, menurut para Imam, boleh menghadap ke arah yang diyakini. Shalatnya dinyatakan sah, asalkan dia telah melakukan shalat tersebut. Akan tetapi, jika ketika selesai shalat mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapinya salah, maka shalatnya wajib di ulangi, kalau masih ada waktu. Itulah pendapat Imam Syafi'i, ulama Hanafiah dan ulama Kufah pada umumnya. Akan tetapi, as-San'ani ahli fikih dan hadis serta asy-Syaukani memandang shalat yang telah dikerjakan itu tak perlu diulang, karena sah. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini Jakarta – Salah satu ulama Al Azhar Kairo Mesir, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi 1380 H / 1960 M, telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan atau dianjurkan kita menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam kitab beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah halaman 61, beliau mengatakan,”Jika ada yang mengatakan,’ kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa ?” Beliau menjawab pertanyaan itu dengan menukil jawaban Al-Imam Al-Alim Al-Allamah Az-Zahid Al-Wara’ Abu Bakar bin Al-Walid At-Thurthusi Al-Andalusi Al-Iskandari Al-Maliki Al-Asy’ari atau Imam Ath-Thurthusi rahimahullah 1059 – 1126 M / 451 – 520 AH, ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam kitab Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din 5/34 – 35. Dalam jawaban itu, Imam Ath-Thurthusi rahimahullah memberikan dua jawaban Pertama, hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan akan langit merupakan kiblat saat berdoa. Kedua, karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit. Jawaban Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdurrahman terkenal dengan nama Imam Ibnu Qurai’ah rahimahullah 367 H / 977 M, saat ditanya oleh Abu Muhammad al-Hasan Bin Harun al-Muhallabi atau Al Wazir Al-Muhallabi rahimahullah 951 – 963 M di Oman, seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan, “Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia Allah Ta’ala ? Ibnu Qurai’ah rahimahullah menjawab, ”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening kening kami ke tempat berakhirnya jasad jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang kedua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala yang maknanya, ”Dan di langit rizki kalian dan apa apa yang dijanjikan.” QS. Ad Dzariyat 22. Dan Allah Ta’ala berfirman yang maknanya, ”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.” QS Thaha 55. Dinukil dari kitab Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, cetakan 2 2004.Shared by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya - Selamat datang di laman kami. Pada pertemuan ini admin akan membahas perihal menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang posisi matahari from aisyah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Ada yang mengatakan sunnah dan yang menggatakan mubbah. Orang yang menunda shalat dari awal waktunya sehingga mengakhirkan sampai waktu yang terakhir dan hampir mau habis. menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang Ke Langit Ketika Shalat Termasuk Perbuatan Yang HukumnyaDan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” qs. Dan telah dinukil adanya ijma’ konsensus atas larangan hal tersebut. Ada yang mengatakan sunnah dan yang menggatakan mubbah. Adapun bagi orang yang ada di dalam masjid, maka ia meludah di bajunya. Inilah pendapat yang lebih kuat. menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang pula menurut mazhab inilah 13 perkara atau hal yang makruh dalam shalat seseorang, yang bagi kita harus untuk menghindarinya. Dalam suatu riwayat, “atau di bawah kakinya,” khusus bagi orang yang ada di luar masjid. Atau ia melihat ada tempat yang kosong di depannya, lalu ia bergerak maju ke depan untuk mengisi yang tidak melaksanakan rukun shalat dan syarat sah wajib shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh allah aisyah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka ia telah terlepas dari tanggung jawab allah, hr ahmad dari muadz bin. Adapun bagi orang yang ada di dalam masjid, maka ia meludah di ini termasuk sunnah dalam shalat yang dicontohkan oleh nabi muhammad saw. menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Maka sungguh kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah masjidil haram.” maka pada asalnya, shalat wajib yang lima waktu dilakukan di darat dan mereka, perbuatan ini jika dilakukan karena sombong, maka hal ini. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” qs. Sesungguhnya shalat termasuk salah satu rukun islam yang sangat yang menunda shalat dari awal waktunya sehingga mengakhirkan sampai waktu yang terakhir dan hampir mau menjulurkan pakaiannya hingga menyentuh tanah. Menoleh atau menengok tanpa keperluan. Dalam hadis ini terdapat larangan meludah ke arah kiblat atau arah kanan jika seseorang sedang shalat dan ini termasuk perbuatan yang membatalkan itulah pembahasan tentang menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya yang bisa kami sampaikan. Terima kasih sudah pernah berkunjung di website beta. mudah-mudahan tulisan yang awak bahas diatas menaruh untung bagi pembaca lagi berjibun diri yang telah berkunjung pada website ini. kami pamrih dorongan sejak seluruh partai jatah ekspansi website ini agar lebih apik lagi.

menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya